Sabtu, 10 Desember 2011

Offside, Sumber Kontroversi, Taktik Bertahan dan Dilema para Wasit

Buat yang suka nonton bola pasti tidak asing lagi dengan kata "offside". Kata ini sendiri memang sering dihubungkan dengan yang namanya kontroversi. Apakah itu gol yang seharusnya sah tapi dianulir ataupun sebaliknya.

Pertama, kita harus paham terlebih dahulu kondisi bagaimana yang disebut offside. Dalam hal ini memang banyak penafsiran berbeda. Namun, dalam post ini saya mengambil rujukan dari wikipedia mengenai peraturan offside. Disitu disebutkan ada tiga kondisi yang membuat pemain berada dalam posisi offside. Pertama, pemain harus berada di setengah dari lapangan lawan. Kedua, pemain harus berada di depan bola. Dan ketiga, harus ada kurang dari dua pemain lawan antara dia dan garis gawang lawan, dengan kiper dihitung sebagai pemain lawan untuk tujuan ini. Untuk lebih jelasnya bisa di klik di link diatas.


Karena sifat dari offside itu sendiri adalah sebuah pelanggaran, sebagaimana pelanggaran lainnya, maka keuntungan berada pada tim yang dilanggar. Tim yang melakukan offside kehilangan bola dan tim yang dilanggar mendapat tendangan bebas. Hal ini memunculkan sebuah taktik bertahan yang bisa disebut "perangkap offside". Caranya cukup sederhana, asalkan sang pemain bertahan jeli dan tidak lepas perhatian secara total dari si striker target. Dengan melihat posisi sang striker dan sang pengumpan, maka para pemain belakang akan berusaha untuk lebih maju dan meninggalkan sang striker dalam posisi offside. Taktik ini biasa digunakan saat akhir pertandingan, ketika stamina para pemain bertahan sudah menurun atau untuk menghemat tenaga karena pelatih tidak punya banyak stok pemain untuk rotasi.

Namun terkadang taktik ini bisa jadi bumerang ketika sang striker cukup cerdik untuk menyadari bahwa dia sedang dijebak kemudian dia kembali pada posisi onside dimana ada daerah yang ditinggalkan defender. Saat itulah insting sang playmaker segera memberikan umpan terobosan kepada sang striker dan striker yang berhasil menguasai bola akan langsung one-by-one dengan kiper. Ketika menerapkan jebakan, biasanya sang target akan dibiarkan saja tanpa mendapat marking atau pressure karena para defender tadi sudah yakin sang target berada dalam jebakan mereka. Maka dengan kombinasi antara kecerobohan para defender, insting dan skill umpan akurat sang playmaker, akselarasi serta naluri gol dari sang striker, jebakan offside bisa jadi "senjata makan tuan" di saat kondisi genting. Yang tidak kalah membahayakan adalah ketika sang striker sudah menguasi bola hasil umpan terobosan dan sang defender terlambat untuk beradu lari, maka sang defender yang panik langsung melancarkan tackling dari belakang yang sangat berbahaya. Tackling ini bisa menimbulkan kartu baik kuning ataupun merah dan resiko cedera dari kedua pemain.


Offside ini sendiri menjadi dilema bagi para wasit dan hakim garis. Para wasit dan hakim garis seringkali berada dalam posisi yang kurang menguntungkan ketika menyaksikan posisi pemain. Tidak seperti kita yang bisa melihat tayangan ulang di televisi, bahkan terkadang ada tayangan ulang yang ditambah garis bantu atau daerah yang dihitamkan untuk mempertegas batas offside. Wasit dan hakim garis seringkali tidak bisa mengimbangi kecepatan gerak bola dan perubahan arah pemain yang tidak diduga-duga. Jadi, sebagai pemain dan penonton seharusnya kita bertindak bijak dengan tidak melancarkan protes berlebihan bahkan provokasi. Karena bagaimanapun juga keputusan wasit tidak bisa diubah saat sang peluit sudah ditiup dan wasit juga manusia, punya keterbatasan dalam pengelihatan dan kecepatan. Hal ini memunculkan wacana untuk menggunakan teknologi kamera namun ini juga menimbulkan tentanagn dan kontroversi yang malah memperkeruh suasana. So, keep fair play !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar